Ilustrasi: Doc. Google Sebuah kota tidak hanya merupakan permukiman khusus, tetapi merupakan suatu kekomplekan yang khusus dan setiap ko...
Kota merupakan karya cipta manusia yang paling rumit dengan segala macam bentuk kegiatan masyarakat yang begitu kompleks, setelah mengalami interaksi dengan berbagai masyarakat yang struktur, kelas dan status sosialnya berbeda. Kota selalu identik dengan gedung-gedung yang relatif besar dan padat.
Hanya saja, dari dua contoh di atas, ada kesalahan yang sangat fundamental dengan adanya fenomena tersebut; kita tidak akan pernah berpikir bagaimana cara memproduksi, atau berpikir-ulang mengenai pemahaman tentang ide kemajuan, karena kita sudah merasa puas dengan pemahaman yang sekarang dan merasa berhak melakukan apa saja.
Kemajuan melulu diartikan sebagai deretan gedung-gedung mencakar langit, kampus-kampus beradu bayaran paling tinggi, tempat wisata eksotis dan banyak menghasilkan pundi-pundi uang, tiang-tiang lampu berdiri disepanjag jalan, atau cafe-cafe yang bersedia melayani 24 jam penuh, dan apa yang musti kita sebutkan? Banyak. Tapi ada berapa banyak orang yang sadar dari mana datangnya semua itu? Mari kita jeda sebentar, perlu kiranya kita melakukan perenungan kecil-kecilan sesaat. Sangat sedikit orang yang tahu bila; untuk membangun gedung kita perlu mengeruk gunung; untuk tempat duduk nyaman di cafe, berapa hektar hutan yang harus di tebang. Kita tidak pernah tahu, kerena itu semua dilakukan oleh orang lain, karena kita hanya cukup menukarnya dengan uang agar bisa menikmati.
Ibarat tupai, mereka sangatlah lihai melompat dari satu dahan ke dahan lain yang ada di depannya. Melewati sisi-sisi kotor dari kegiatan hedonisme dan konsumtif. Karenanya, mereka selalu melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri demi mendapatkan pembenaran baru untuk kebiasaan buruknya itu. Tak ada bedanya seperti penguasa yang memakai jabatannya untuk melakukan kerja-kerja kotor. Sebab itulah banyak orang yang memilih tinggal di kota, dan tidak sedikit dari mereka terjangkit penyakit “tifus” (semacam penyakit yang cepat menular) akut. Kemudian efek dari penyakit yang dideritanya itu, mereka lebih suka merendahkan orang-orang disekitarnya karena berbeda gaya hidup dengannya. Dan bisa disimpulkan bahwa; semakin maju sebuah kota, semakin sakit pula (kejiwaan) manusianya. Sungguh mencemaskan, bukan?
Globalisasi, Teknologi dan Kapitalisme
Tak terbantahkan lagi, dalam perkembangan zaman yang sangat pesat, globalisasi dan kecanggihan teknologi berperan besar terhadap bergesernya pola hidup masyarakat di perkotaan, khususnya kota tempat sekarang saya tinggal, semarang. Hal ini terbukti dengan begitu mudahnya dapat kita jumpai tempat-tempat hiburan di kota ini, mulai dari diskotik, cafe, dan tempat-tempat wisata lainnya. Belum lagi kunjungan turis domistik dan manca negara yang bebas keluar masuk. Hal inilah yang membawa arus pembauran budaya kita dengan budaya asing.
Paling terakhir, yang ingin dan musti saya salahkan adalah kapitalisme; sepertinya, ideologi warisan masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern di eropa (abad ke-14-ke-17) ini sudah mengalir deras dalam darah orang-orang di perkotaan. Mereka sepenuhnya melihat segala sesuatu dalam ukuran harga, dan ia selalu menularkan "penyakit" kepada manusia agar menjadi penanam modal. Sebab dalam sistem yang mereka imani, orang yang mengendalikan modal akan tetap bertahan, dan hidup berkelanjutan. Dan saya tidak tahu, sampai kapan harus menyaksikan orang-orang yang sebegitu mengerikan, dan cenderung hidup individual seperti itu.
Hasan Tarowan
Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam
UIN Walisongo Semarang
COMMENTS