Besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) IAIN Walisongo Semarang tahun2014/2015 Metode penentuan kelompok hanya berdasar pada data isian. Tu...
Besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) IAIN Walisongo Semarang tahun2014/2015 |
Metode penentuan kelompok hanya berdasar pada data isian.
Tujuan mulia UKT terancam sekedar menjadi impian.
Tak seperti hari-hari biasa, Senin
(27/1) Auditorium 1 IAIN Walisongo Semarang dipenuhi puluhan mahasiswa. Sebagian
di antaranya, terlihat lalu-lalang di luar gedung seakan menunggu kedatangan
seseorang. Beberapa waktu kemudian, tibalah beberapa pimpinan kampus untuk
menemui mereka. Salah satunya Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan, Ruswan.
Usut punya usut, pertemuan antara
mahasiswa angkatan 2013 dengan pimpinan IAIN itu digelar, dalam rangka audiensi
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mulai resmi diberlakukan pada semester dua tahun
akademik 2013/2014.
Audiensi diadakan, pasca terjadi
demontrasi menentang pelaksanaan UKT. Meski berlangsung alot, disertai adu
argumentasi, audiensi berlangsung tertib hingga selesai. Walupun begitu, rona
kecewa tampak jelas di wajah beberapa mahasiswa.
UKT
merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa pada
setiap jurusan/program studi untuk program diploma dan sarjana. Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan Ruswan mengatakan, pada prinsipnya UKT bertujuan
memberi peluang sama kepada masyarakat agar bisa menikmati bangku kuliah. Caranya, dengan
menghitung seluruh biaya perkuliahan mahasiswa selama delapan semester. Total
biaya tersebut, yang akan dibayar mahasiswa di setiap awal.
“Justru mahasiswa diuntungkan dengan
UKT,” jelasnya. Adanya penolakan dari sebagian mahasiswa, menurutnya lebih
disebabkan ketidaktahuan.
Hanya saja Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan itu menyayangkan, surat edaran pemberlakuan baru dikirim pada
pertengahan semester gasal. Keterlambatan itu, memengaruhi kesiapan kampus
dalam mengimplementasikan UKT.
Demi
BOPTN
Kepala Bagian Perencanaan
Priyono mengatakan, idealnya UKT diterapkan
pada
mahasiswa baru di awal semester. Namun. karena Surat Edaran Direktorat Jendral
Pendidikan Islam bernomor: Se/Dj.I/PP.009/54/2013 turun setelah pembayaran SPP,
mau tidak mau UKT baru bisa dilaksanakan pada semester dua tahun akademik
2013/2014.
“Siap tidak siap, ya
harus siap!”
tegasnya.
Ia berharap, mahasiswa menyambut baik, mengerti dan
paham arah sistem UKT. “Jika
tak dilaksanakan tahun ini, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN)
tidak akan turun,” ungkapnya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2012 menyebutkan, BOPTN ialah bantuan
biaya dari Pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk
membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan
sumbangan pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri.
BOPTN
hanya digunakan untuk: a. pelaksanaan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat; b. biaya pemeliharaan pengadaaan; c. penambahan bahan
praktikum/kuliah; d. bahan pustaka; e. penjaminan mutu; f. pelaksanaan kegiatan
kemahasiswaan; g. pembiayaan langganan daya dan jasa; h. pelaksanaan kegiatan
penunjang; i. pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam
pembelajaran; j. honor dosen non pegawai negeri sipil; k. pengadaan dosen tamu;
dan/atau l. kegiatan lain yang merupakan prioritas dalam renstra perguruan
tinggi masing-masing.
Pemberian
BOPTN, berkaitan
dengan UKT. Kalau tak menerapkan UKT pada tahun akademik 2013/2014, maka pada
tahun selanjutnya IAIN tak akan mendapat
dana bantuan itu. Padahal, keberadaannya sangat
penting, karena menjadi sumber subsidi biaya kuliah mahasiswa.
“Seandainya tak memeroleh
BOPTN, SPP akan naik,” jelas Priyono.
Sosialisasi UKT kepada mahasiswa IAIN |
Sosialisasi Tak Merata
Sebelum
resmi diberlakukan, pimpinan IAIN beberapa kali melakukan sosialisasi. Langkah
ini, sebagai upaya memberi penjelasan kepada sivitas akademika. Mulai dari
mahasiswa, dosen hingga pejabat kelembagaan di tingkat institut dan fakultas.
Materi yang disampaikan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan UKT.
“Supaya informasinya tak simpang siur,” ujar Priyono.
Adapula sosialisasi
ditingkat fakultas, terutama dari Ketua Jurusan kepada mahasiswa.
Dengan
sistem pembayaran ini, mahasiswa akan dituntut menyelesaikan kuliah selama
delapan semester. Sebab, total biaya diasumsikan dalam empat tahun. Semakin lama
waktu kelulusan, semakin banyak pula subsidi yang diberikan.
Kalau ini terjadi,
bukan saja mahasiswa terkait yang dirugikan. Melainkan mahasiswa lain dan
pemerintah juga menerima imbasnya. Karena harus memberikan subsidi silang. “Harusnya
mahasiswa juga memikirkan hal ini, jangan egois!” harap Priyono.
Ruswan
juga mengamini penjelasan itu. Memang tak ada paksaan bagi mahasiswa lulus delapan
semester. Hanya saja, ketika tak lulus tepat waktu, subsidi yang diberikan
pemerintah kepada PTAIN akan semakin besar.
“Mahasiswa itu disubsidi negara lewat
BOPTN sekitar Rp5 juta dalam setahun,” tegasnya.
Sayangnya,
berbagai penjelasan tersebut tak banyak diketahui mahasiswa angkatan 2013. Muhammad
Hasan misalnya. Ia menilai, waktu sosialisasi tidak tepat. Lantaran dilakukan
pada waktu liburan. Sehingga sebagian besar mahasiswa tak bisa mengikuti karena
masih berada di rumah.
“Tahu-tahu UKT sudah dilaksanakan, tanpa mengerti apa
maksud sitem ini,” ujarnya.
Belum
lagi, adanya penolakan dari sebagian mahasiswa ikut andil memengaruhi
keikutsertaan mahasiswa dalam sosialisasi UKT. Meirina
Miawati misalnya, ia
sengaja tak
menghadiri sosialisasi lantaran
terpengaruh saran temanya.
Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam ini pun akhirnya
ikut-ikutan demo menentang
UKT. “Saya pikir UKT hanya akan merugikan dan
menyusahkan orang tua mahasiswa,”
akunya
Priyono mengimbau, jika ada mahasiswa
yang belum paham UKT, bisa mendatanginya di kantor Bagian Perencanaan. “Kami terbuka,
jika ada mahasiswa yang mau tanya beberapa hal tentang UKT,” terangnya.
Sengkarut Penentuan Kelompok
Sistem
UKT meniscayakan adanya subsidi silang. Besaran dana yang dibebankan pada
mahasiswa per semester berbeda-beda. Disesuaikan dengan kelompoknya. Ruswan
menjelaskan, dalam membagi
kelompok IAIN Walisongo memberlakukan sistem rangking ekonomi tertinggi dan
terendah.
Untuk 5% terendah, masuk pada
kelompok satu. Sementara 8% tertinggi dimasukkan ke kelompok tiga. Pembagian ini bertujuan, menyeimbangkan
anggaran akibat pemberlakuan UKT. Intinya,
jumlah mahasiswa yang masuk kelompok tiga harus mampu menyubsidi kelompok satu.
“Semakin
besar kelompok satu semakin banyak pula jumlah
kelompok tiga,” jawab Ruswan, ketika ditanya memilih menggunakan batas minimal 5% untuk kelompok satu.
Pembatasan
kuota 5% untuk kelompok satu menurut Priyono,
sesuai dengan kondisi mahasiswa IAIN Walisongo. Sebab, rata-rata
mahasiswanya berada pada tingkat ekonomi
menengah ke bawah.
“Tak bisa kalau dibandingkan pembagian kelompok UKT di perguruan tinggi
lain,” tuturnya.
Proses
penentuan kelompok UKT, digunakan metode data isian yang berasal
dari dua sumber. Satu yang telah
dikumpulkan mahasiswa ketika mendaftar kuliah.
Kedua yang disebar para Ketua Jurusan sebelum pembayaran
SPP semester dua berlangsung.
Data
isian berisi sejumlah pertanyaan yang akan diisi mahasiswa sendiri terkait
penghasilan orang tua. Metode ini digunakan, untuk mengetahui tingkat ekonomi
mahasiswa. Dari situ rangking ekonomi dapat diketahui. Hasilnya, kemudian menjadi acuan
untuk penentuan kelompok UKT.
Sementara itu, Kepala Pusat Teknologi dan Informasi
Pangkalan Data (PTIPD) Wenti Dwi Yuniarti mengatakan, dalam penenetuan kelompok UKT tahun akademik 2014/2015 persyaratannya akan ditambah.
Meliputi, Kartu Keluarga, Rekening listrik 3 bulan
terakhir, Slip gaji atau
Surat keterangan penghasilan orang tua (jika tidak punya slip gaji) dan foto
rumah (tampak depan, ruang keluarga, ruang tidur, ruang dapur dan ruang kamar mandi).
Wenti,
begitu ia biasa dipanggil menambahkan, untuk verifikasi data mahasiswa 2013, tim PTIPD mengacu
pada dua data yang telah dikumpulkan. Serta hasil survei mahasiswa Beasiswa
Pendidikan Mahasiswa Miskin dan Berprestasi (Bidikmisi) oleh bidang
kemahasiswaan.
Sedangkan,
bagi calon mahasiswa baru sudah dilakukan verifikasi data calon
mahasiswa baru pada Selasa 24 Juni 2014.
“Kewengan kami hanya sebatas verivikasi,” tegasnya.
Hasil
pembagian kelompok, ternyata menimbulkan berbagai persolan. Tidak semua mahasiswa merasa puas, Mohammad Hasan misalnya. Ia mengatakan, terjadi kesenjangan sosial antarmahasiswa,
lantaran hasil penentuan kelompok tak
sesuai harapan.
Mahasiswa
Siyasah Jinayah itu menilai, proses dan metode yang digunakan tidak transparan.
Walhasil, terdapat mahasiswa berekonomi rendah berada pada kelompok dua dan
tiga, dengan biaya kuliah lebih dari Rp1 juta per bulan. Namun mahasiswa
berekomi kaya justru masuk di kelompok satu, yang hanya membayar Rp400 ribu.
“Buktinya,
ada mahasiswa dengan uang saku mencapai Rp1,5 juta/bulan justru masuk pada
golongan satu,” ungkapnya.
Hasan,
sapaan akrabnya kecewa, sebab UKT yang diharapkan mampu
meringankan biaya kuliah justru semakin memberatkan mahasiswa berekonomi rendah.
Metode data isian menurutnya tidak sahih. Karena tak mampu menggambarkan
tingkat ekonomi orang tua. Terutama yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Bagi
mahasiswa yang orang tuanya bekerja sebagai petani, metode data isian justru
menyulitkan. Karena penghasilannya tidak bisa diprediksi setiap bulan. “Kadang
bekerja kadang tidak,” kata Hasan.
Selain
itu, mahasiswa dengan mudah melakukan manipulasi data. Memang pihak jurusan pernah
berjanji akan melakukan survei langsung ke rumah mahasiswa. Sayang, janji
tinggallah janji.
“Sekarang saya harus bekerja lebih keras lagi supaya mampu
membayar SPP lebih dari Rp1 juta,” gumam mahasiswa asal Madura itu.
Senada
dengan Hasan, Dliyaul Fahmi berharap agar pihak fakultas lebih aktif dalam
melakukan sosialisasi, terutama dalam penentuan kelompok. “Kalau pembagian kelompok
jelas, pasti semua akan menerima dengan lapang dada,” usul Mahasiswa Tafsir
Hadits itu.
Belum
lagi, tingkat ekonomi orang tua sebagai standar penentuan kelompok bersifat
fluktuatif. “Kalau
yang miskin jadi kaya tak maslah, tapi kalau kaya jadi miskin lantas bagaimana?,”
tambahnya.
Tak
jauh berbeda Anif juga merasa keberatan dengan hasil pembagian kelompok. Kini,
ia harus membayar Rp1.37 juta per semester. Padahal gaji orang tuanya hanya Rp1,5
juta/bulan.
“Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah pas-pasan,”
ujarnya.
Kepala
Dewan Pendidikan Jawa Tengah Rasdi Eko
Siswoyo menilai, metode terbaik dalam menentukan golongan UKT adalah Home
visit (kunjungan
rumah). Terutama bagi data
yang meragukan.
Data isian bisa saja diterapkan, namun harus disertai dengan survei ke rumah. Memang, metode ini akan membutuhkan
banyak biaya. Namun
hasilnya akan lebih sahih.
Terkait
fluktuasi pendapatan Rasdi mengusulkan, agar pimpinan kampus mengadakan
evaluasi setiap tahun.
Tidak adil kalau
hanya mengambil melihat kemampuan
ekonomi di semester pertama saja. “Jangan sampai
UKT justru memberatkan mahasiswa miskin,” pesannya.
Harapan Rasdi nampaknya sulit terwujud. Priyono memastikan tak akan ada
peninjauan kembali terhadap pembagian golongan. Sebab hal itu akan membuat
data di PTIPD berubah. Sehingga menyulitkan pihak kampus.
“Kalau
ada mahasiswa yang secara sah terbukti salah masuk golongan, akan kami
pertimbangkan untuk mendapatkan beasiswa,” ujarnya.
Dikelola BLU
Setelah UKT resmi diberlakukan, pengelolaan keuangan IAIN menjadi satu pintu melalui Badan Layanan Umum
(BLU). Mekanismenya, lewat Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL) yang dianggarkan satu periode
sebelumnya.
Ketua Badan Layanan Umum (BLU) Habib Mustawa mengatakan,
tidak ada yang berubah mengenai pengelolaan keuangan sebelum
dan sesudah penerapan UKT. Hanya saja, penentuan anggaran kegiatan di tingkat
mahasiswa yang dulu mengacu pada
matrik anggaran di awal periode kepengurusan, sekarang harus sudah dianggarkan
satu tahun sebelumnya.
“Kalau tidak lewat RKAKL, anggaran tak
akan cair,” jelasnya.
Pencairannya, harus melewati proposal
yang sudah diterima tim verifikator bidang keuangan IAIN. Maksimal 10 hari sebelum kegiatan
berlangsung. Nantinya, tim verifikator yang akan menentukan proposal diterima
atau tidak.
”Pada intinya, kami tidak pernah mempersulit proses pencairan
anggaran,” imbuhnya.
Dalam pembuatan Surat
Pertanggung Jawaban (SPJ) Habib menegaskan, semua lembaga yang menggunakan
anggaran harus menyelesaikan SPJ paling lambat lima hari setelah kegiatan.
Kalau tidak bisa, akan ada teguran yang dilayangkan melalui Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK). PPK menjadi tim khusus yang
dibentuk oleh Bidang
Keuangan untuk mengatasi keterlambatan pembuatan SPJ.
Caranya, PPK memanggil penanggung jawab
SPJ. Selanjutnya membuat surat pernyataan yang salah satu isinnya adalah
kesediaan untuk menyelesaikan pembuatan SPJ selama dua hari sejak surat
pernyataan itu dibuat. Kalau masih belum bisa, akan diulang terus-menerus.
Habib menegaskan, anggaran dalam
proposal kegiatan tidak bisa
dicairkan sebelum SPJ disahkan
oleh tim verifikator bidang keuangan.
Menurutnya, kebiasaan mahasiswa yang kurang bertanggungjawab dalam SPJ,
menjadikan pejabat bidang keuangan di IAIN Walisongo harus menetapkan kebijakan
tersebut.
“Anggaran 100% cair ketika SPJ sudah disahkan,” tutupnya.
Bagi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), kebijakan
itu sulit direalisasikan. Farida Rachmawati menjelaskan, dalam sekali
penerbitan dibutuhkan dana yang cukup besar. Tidak mungkin
percetakan mau mencetak majalah atau tabloid tanpa ada ongkosnya terlebih
dahulu. Mencari dana talangan juga mustahil. Karena harus ada jaminannya.
“Sebagai
mahasiswa kami bisa menjaminkan apa?” katanya.
Farida berharap, pemberlakuan UKT juga disertai
aturan jelas dalam hal pendanaan Unit Kegiatan Mahasiswa, khususnya LPM. Jangan sampai sistem baru ini justru
menghambat penerbitan pers kampus. Sehingga membuat hak mahasiswa memeroleh
informasi menjadi terganggu. “Pihak
rektorat harus segera mencarikan
solusi, agar penerbitan terus berjalan,”
harap Pemimpin
Umum LPM Missi itu. n
Ahmad Muhlisin
COMMENTS