Ekan Kurniawan (paling kanan) saat menjadi pemateri Kemah Sastra III Komunitas Lereng Medini (KLM), Mei lalu. Perhatikan kata-kata ini:...
Ekan Kurniawan (paling kanan) saat menjadi pemateri Kemah Sastra III Komunitas Lereng Medini (KLM), Mei lalu. |
Di situlah tempat Heri Chandra Santosa dan beberapa kawan yang lain mengelola perpustakaan “Pondok Maos Guyub” yang berdiri sekitar tahun 2006/2007 lalu. Ruangan itu kini dipenuhi berbagai macam buku sastra asing dan dibuka untuk umum.
Setelah melakukan perjalanan hampir satu jam dari kantor SKM Amanat untuk kepentingan wawancara, kami tiba di Boja. Suhu udara lumayan dingin bagi orang dari Ngaliyan. Sembari menunggu Heri, kami duduk santai di teras rumah yang telah disulap menjadi perpustakaan dan tempat kegiatan sastra oleh Sigit Susanto.
Belum selesai saya menulis pesan singkat di layar ponsel, Heri sudah datang dengan motor kesayangannya. Kemudian kami masuk ke ruangan yang dipenuhi buku-buku dan beberapa foto penulis ternama terbingkai rapi di dinding-dinding perpustakaan. Sejak saat itulah, obrolan pecah.
Soal asal-usul Pondok Maos Guyub, Heri punya cerita sendiri tentang Sigit Susanto sebagai penggagas utama berdirinya perpustakaan. Katanya, ia (Sigit) berfikir, jika hanya menulis buku kemungkinan sedikit orang yang akan membaca. Tetapi dengan mendirikan perpustakaan, banyak sekali masyarakat di sekitar yang akan mendapatkan manfaatnya. Sebab itulah, dia mendirikan sebuah perpustakaan.
“Dulu dia pernah merintis perpustakaan dengan bermodal anak ayam, buat beli buku,” katanya, Heri tampak bersemangat menceritakan kepada kami.
Menurutnya, meskipun masyarakat belum memiliki budaya baca yang tinggi, setidaknya dengan adanya perpustakaan, bisa menjadi ruang bagi masyarakat untuk mengakses buku bacaan gratis. Karena Pondok Maos Guyub merupakan satu-satunya perpustakaan yang bersifat sosial di daerah Boja.
Hari sudah sore, tapi waktu seolah tidak mempengaruhi teman saya untuk berhenti bertanya. Obrolan demi obrolan semakin menarik. secangkir kopi, dan beberapa makanan ringan yang dihidangkan sudah siap kami santap.
Sigit susanto sebagai perintis Pondok Maos Guyub memiliki kuasa menempati pucuk pimpinan perpustakaan. Tetapi dia memberi wewenang penuh pada Heri untuk mengelola semua kegiata perpustakaan dan acara-acara sastra, karena saat ini dia tinggal di Switzerland.
Harapannya, dengan perpustakaan ini masyarakat bisa guyub berteduh, mendapatkan asupan-asupan bacaan, ilmu pengetahuan, dan semacamnya. Itulah mengapa, perpustakaan ini diberi nama Pondok Maos Guyub. Selain itu, bisa menjadi semacam pemantik tumbuahnya perpustakaan-perpustakaan baru di tempat lain.
“Semoga menginspirasi,” kata Heri.
Di perpustakaan ini koleksi buku umum semua ada, mayoritas sastra, terutama sastra asing. Rata-rata koleksi buku atau karya sastra yang dipilih merupakan buku-buku bagus, seperti karya Orhan Pamuk, Franz Kafka, Jhon Stainbeck, Hemingway, Gabriel Garcia Marques, Mario Vegas Lorca dan lainnya. khusus literatur asing, Sigit Susanto langsung mendatangkan dari Swiss.
Pada akhir Juli lalu, kami menghubungi Sigit Susanto via Facebook, katanya, ada beberapa yang menjadi keistimewaan perpustakaan Pondok Maos Guyub bila dibandingkan dengan perpustakaan lain. Pertama, di sana ada novel Orhan Pamuk yang berjudul Mein Name ist Rot, mendapat tanda tangan dari Orhan Pamuk ketika launching bukunya “The Museum Of Innocence” di Swiss. Dan inilah yang menjadi pembeda dengan perpustakaan lain di Indonesia.
“Belum tentu mereka punya koleksi novel lengkap dengan tanda tangan penulisnya,” balasnya, saat dihubungi melalui pesan singkat.
Kedua, keseluruhan koleksi ada tiga kategori buku bahasa Inggris-Jerman dari yang klasik sampai kontemporer. Seperti karya Goathe, Shakespeare, Dostojewski, Leo Tolstoy dan Umberto sampai Murakami untuk yang kontemporer. Ada pula beberapa karya Salman Rushdie, Satanic Verses. Tapi novel ini disimpan tersendiri, tidak dipajang di rak.
Pengelola perpustakaan, menyiasati warga sekitar, khususnya anak-anak, agar tertarik membaca buku, heri dan kawan-kawannya mempunyai cara lain. Mereka membikin taman baca (Kebun Sastra Guyub) atau rumah pohon, ada beberapa gasebo dan perpustakaan pohon yang juga disediakan buku-buku.
Selain menyediakan ruang baca berupa rumah pohon dan taman, pengelola perpustakaan juga rutin mengadakan acara ngaji sastra setiap satu minggu sekali. Hanya saja, kegiatan rutinan ini memakan waktu cukup lama, tiga tahun. Karena buku yang dikaji sastra asing.
“setiap kali diskusi hanya menyelesaikan satu halaman, karena ada istilah yang sulit dipahami,” kata Heri.
Ketika ditanya soal respon masyarakat, Heri mengakui jika minat baca belum tumbuh subur. Ia menyadari bila untuk menumbuhkan budaya membaca di masyarakat sangatlah sulit. Tetapi paling tidak, Pondok Maos Guyub menjadi sarana untuk mengenalkan, mengajak dan sebagai laboratorium bersama.
Sistem peminjaman buku pun terbilang mudah, karena pihak perpustakaan menganut prinsip kejujuran. Siapa saja boleh meminjam buku dengan cara melakukan proses peminjaman sendiri, dari pencatatan di daftar peminjam buku hingga batas waktu pengembaliannya. Hal ini dimaksudkan, sebagai gerakan kecil untuk meneguhkan bahwa ilmu pengetahuan melebihi apapun untuk modal masa depan.
“Semoga masyarakat menularkan budaya baca bagi anak-anak,” kata Heri di akhir wawancara. Kemudian kami bergegas menuju Rumah Pohon dan menghabiskan sore di sana.
Hasan Tarowan
COMMENTS